01 May 2013

Jangan Saling Menzalimi (Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-35)

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلهُ وَلاَ يَكْذِبُه وَلاَ يَحْقِرُه . التَّقْوَى هَا هُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu, jangan saling menjauhi, dan jangan sebagian kalian membeli di atas pembelian yang lain. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya, enggan membelanya, membohonginya dan menghinanya. Takwa itu di sini—Rasul menunjuk dada beliau tiga kali. Keburukan paling keterlaluan seseorang adalah ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya (HR Muslim dan Ahmad) Di dalam hadis ini Rasulullah saw. melarang kita dari beberapa perkara.Pertama: lâ tahâsadû, jangan saling hasad. Hasad adalah merasa iri/dengki atas kenikmatan/kelebihan orang lain disertai harapan agar semua itu hilang dari orang lain itu, baik disertai harapan agar berpindah kepada dirinya atau tidak. Hasad hukumnya haram, baik dalam hal duniawi atau hal agama. Apalagi jikahasad itu disertai tindakan, perbuatan atau ucapan, langsung atau tidak langsung, agar kenikmatan/kelebihan itu hilang dari pemiliknya. Adapun berharap agar kenikmatan/kelebihan itu juga dimiliki tanpa berharap agar hal itu hilang dari yang punya, hal seperti itu tidak disebut hasad melainkanghibthah (cemburu), dan tidak tercela. Hanya saja, jika ghibthah itu dalam hal duniawi maka hendaknya tidak menjadi kebiasaan. Dalam hal duniawi, Nabi saw. menyuruh agar melihat ke yang lebih bawah. Adapun dalam hal agama, Nabi saw. bersabda: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهْوَ يَقْضِى وَيُعَلِّمُهَا Tidak boleh ada hasad kecuali dalam dua hal: lak-laki yang Allah beri harta lalu ia habiskan di dalam kebenaran dan laki-laki yang Allah beri hikmah lalu ia gunakan untuk memutuskan dan ia ajarkan (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Ahmad) Hasad yang dimaksudkan di sini adalah ghibthah, disebut hasad secara isti’arahsebab secara bahasa sama dengan hasad. Kedua: lâ tanâjasyû, larangan an-najasy secara umum. Secara bahasa an-najasyartinya memprovokasi sesuatu dengan makar (tipudaya), trik dan tipuan. Jadi makna larangan itu: jangan memperlakukan atau bermuamalah dengan orang lain dengan tipuan, trik atau tipudaya. Ini juga mencakup an-najasy dalam jual beli, yaitu menawar lebih tinggi bukan dengan maksud untuk membeli, melainkan hanya untuk memprovokasi pembeli agar membeli dengan harga yang tinggi. Ketiga, lâ tabâghadhû (jangan saling membenci). Maknanya, jangan mempraktikkan apa saja yang bisa menyebabkan saling membenci dan jangan melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan sikap saling benci. Keempat: lâ tadâbarû, larangan saling memunggungi. Diambil dari sikap tidak suka menemui saudaranya; membelakangi dan memalingkan wajah. Jadi ini adalah larangan untuk memutuskan hubungan dan mendiamkan sesama Muslim. Di dalam Ash-Shahihayn, dari Abu Ayyub ra., disebutkan bahwa Nabi saw. melarang mendiamkan sesama Muslim lebih dari tiga hari. Menurut Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, semua (tidak halal) itu dalam hal saling memutuskan/mendiamkan karena perkara duniawi. Adapun karena perkara agama, maka boleh lebih dari tiga hari. Hal itu dinyatakan oleh Imam Ahmad. Dalilnya adalah kisah tiga orang yang tertinggal jihad dan Rasul memerintahkan untuk mendiamkan mereka satu bulan. Al-Khathabi (Ma’âlim as-Sunan, IV/114) menyebutkan bahwa hajru orangtua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, dan apa yang dalam makna itu sebagai ta’dib (pendidikan) maka boleh lebih dari tiga hari karena Nabi saw. pernah mendiamkan istri beliau satu bulan. Kelima: larangan membeli di atas pembelian orang lain. Yang harus diperhatikan, keharaman itu jika sudah ada bay’ (jual-beli), yakni sudah ada keputusan atau kesepakatan atas harga. Misal, terjadi kesepakatan harga sesuatu itu seribu, lalu orang ketiga berkata kepada pembeli, “Kembalikan barang itu atau batalkan. Kamu aku kasih harga sembilan ratus.” Atau orang ketiga berkata ke penjual, “Batalkan atau minta kembali barang itu. Aku beli dari kamu dengan harga seribu seratus.” Adapun jika belum terjadi jual-beli, belum terjadi kesepakatan harga, maka tidak haram. Meski hal itu sebaiknya tetap dijauhi sebab bisa menyebabkan kebencian. Di sisi lain, Nabi saw. memerintahkan agar menjadi hamba-hamba yang bersaudara. Nabi saw. menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Karena itu, seorang Muslim terhadap Muslim lainnya tidak boleh menzalimi, enggan membela, membohongi dan menghina. Nabi saw. juga mengisyaratkan bahwa semua itu merupakan bagian dari sikap takwa dan takwa itu bersumber dari apa yang ada di dada, yakni berpangkal dari hati, maksudnya berpangkal dari keimanan. Lalu Nabi saw. mengingatkan, yang termasuk keburukan yang sudah keterlaluan adalah menghina atau merendahkan seorang Muslim. Sebab, sikap seperti itu merupakan bentuk al-kibru(kesombongan). Nabi saw. pun menegaskan bahwa darah, harta dan kehormatan seorang Muslim itu haram dilanggar, kecuali yang dibenarkan oleh syariah. Jadi haram ditumpahkan darahnya tanpa dibenarkan, dicederai secara fisik atau diintimidasi. Hartanya haram diambil tanpa hak, dikelola atau dibelanjakan tanpa izinnya, diambil paksa, diserang, dirusak, dilanggar, dsb. Kehormatannya juga haram dicederai tanpa hak. Ghibah termasuk mencederai kehormatan seseorang. Kehormatan seorang Muslim itu juga mencakup kehormatan istrinya, putrinya, ibunya, anaknya, keluarganya dan siapa saja yang menjadi tanggung jawabnya. WalLâh a’am bi ash-shawâb.

22 June 2011

Ruhiyah yang Ringkih

Oleh: (Almarhum) Ustadz Ahmad Madani

Ada fenomena berbahaya yang menggejala pada sebagian ummat Islam, sebagai kader Rasulullah saw. Fenomena tersebut dapat terbaca oleh mereka yang jeli memperhatikan tutur kata, pandangan mata serta gerak langkah kader tadi. Fenomena yang dimaksud berupa melemahnya aspek ibadah serta meringkihnya sisi ruhiyah. Bagi kalangan kader yang mengemban tugas menggerakkan roda dakwah (amilin), hal demikian sangat berbahaya dan berpotensi besar melemahkan kekuatan harakah, disamping sebagai bukti menjauhnya mereka dari manhaj yang mereka kenali.

Semua kita tahu bahwa aspek ruhiyah serta ibadah merupakan garapan terdepan manhaj tarbiyah. Penekanan terhadap kedua aspek tadi bukanlah suatu yang berlebihan sehingga mengesankan adanya upaya pembentukan arus tasawuf dalam harakah dakwah. Yang jelas kedua aspek tadi adalah amar (perintah) dari Allah yang harus ditegakkan di samping menjadi wasilah atau sarana yang akan menopang soliditas harakah.

Al-Quran banyak sekali memberi penekanan terhadap aspek-aspek ruhiyah, ibadah, taqarrub, khasysyah, inabah, tsiqah serta tawakal kepada Allah. Begitupun sunnah nabawiyah memberikan perhatian besar terhadap semua aspek tadi seraya banyak sekali menuangkan permisalan agar dapat dipahami maknanya dengan baik. Aplikasi nilai-nilai tadi akan mampu mengokohkan ruhiyah dan memberikan peluang kepada diri untuk mengembangkan potensi yang selanjutnya mampu memikul amanah dakwah.

Selain itu, setiap kader akan dapat merasakan manisnya iman, indahnya zuhud, mementingkan yang disediakan Allah di akhirat serta tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan.

Apabila nilai-nilai tadi lepas dari genggaman setiap kader, maka akan meringkihkan ruhiyahnya, kemudian sakit dan berakhir dengan kematian ruhiyah tersebut, nau`dzubillah. Fenomena ruhiyah yang ringkih dan lemah tidak sedikit jumlahnya. Di sini disebutkan sebagian sambil menurunkan beberapa kasus dilapangan agar dapat menjadi peringatan bagi setiap kader agar ia dapat segera mengatasinya.

1. Merasakan keras dan kasarnya hati, sampai-sampai seseorang merasakan bahwa hatinya telah berubah menjadi batu keras. Di mana tidak ada sesuatupun yang dapat merembes kepadanya ataupun mempengaruhinya. Ungkapan ini tidaklah berlebihan, bukankah Al-Qur'an telah menerangkan bahwa hati dapat mengeras sekeras batu. Allah berfirman, "Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi?". (Q.S. Al-Baqarah: 74).

2. Perangai yang tersumbat dan dada yang sempit. Sampai-sampai terasa ada beban berat menghimpit dan nyaris terengah-engah kelelahan, sering mengomel dan mengeluh terhadap sesuatu yang tidak jelas atau gelisah dan sempit dalam pergaulan sehingga tidak peduli terhadap derita orang lain, bahkan timbul ketidaksukaan kepada mereka.

3. Tidak terpengaruh oleh ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung ancaman, tuntutan, larangan atau tentang peristiwa kiamat. Dia mendengarkan Al-Qur'an seperti mendengar kalam-kalam lainnya. Lebih berbahaya lagi apabila dia merasa sempit ketika mendengarkan ayat Al-Qur'an seperti sempitnya dia ketika mendengarkan omongan orang lain. Dia tidak menyediakan waktu sedikitpun untuk tilawah dan apabila mendengarnya dari orang lain dia tidak melakukannya dengan khusyu' dan tenang.

4. Peristiwa kematian tidak memberikan bekas pada dirinya. Begitu juga ketika menyaksikan orang mati, mengusung jenazah atau menguburkannya di liang lahat, sedikitpun tidak ada pengaruh pada dirinya. Jika melewati pekuburan seakan hanya berpapasan dengan batu-batu bisu, dan tidak mengingatkannya akan kematian.

5. Kecintaanya terhadap kesenangan duniawi senantiasa bertambah. Kesukaannya memenuhi syahwat selalu berkobar. Fikirannya tidak jauh dari pelampiasan syahwat tadi sehingga dia merasa tentram bila sudah memperolehnya. Apabila melihat orang lain memperoleh kenikmatan dunia seperti; harta, kedudukan, pangkat, rumah atau pakaian yang bagus, dia merasa tersiksa dan menganggap dirinya gagal. Lebih tersiksa lagi apabila yang mendapatkan kenikmatan duniawi itu adalah saudaranya sendiri atau sahabatnya. Terkadang timbul pada dirinya penyakit hasad atau dengki di mana dia tidak ingin kenikmatan itu tetap ada pada saudaranya.

6. Ada kegelapan dalam ruhiyah yang berbekas di wajahnya. Hal ini dapat diamati oleh mereka yang memiliki ketajaman firasat dan memandang dengan nur Allah. Setiap mu'min memiliki nur sesuai dengan kadar keimanannya, dia mampu melihat sesuatu yang tidak mampu dilakukan orang lain. Kegelapan ruhiyah tadi ada begitu pekat sampai begitu jelas tergambar di wajahnya dan dapat diamati oleh mereka yang memiliki firasat imaniyah paling lemah sekalipun. Tetapi kegelapan yang remang-remang hanya dapat diamati oleh mereka yang memiliki firasat imaniyah yang kuat.

7. Bermalas-malasan dalam melakukan kebaikan dan ibadah. Hal tersebut terlihat dengan kurangnya perhatian dan semangat. Shalat yang dilakukan hanya sekedar gerakan, bacaan, berdiri dan duduk yang tidak memiliki atsar atau pengaruh sedikitpun. Bahkan tampak dia merasa terganggu oleh shalat seakan dia berada dalam penjara yang dia ingin berlepas darinya secepat mungkin.

8. Lupa yang keterlaluan kepada Allah. Sedikitpun dia tidak berdzikir dengan lisannya dan tidak juga ingat kepada-Nya. Padahal dia selalu menyaksikan ciptaan Allah SWT. Bahkan terkadang dia merasa keberatan untuk sekedar berdzikir atau berdo'a kepadanya. Jika dia mengangkat tangannya, cepat sekali dia turunkan kembali untuk segera pergi.


Kiat penyembuhanya

1. Selalu dzikrullah. Yaitu senantiasa berdzikir dengan lisan disertai dengan persetujuan hati, tafakur akan ciptaan Allah dan mengambil petunjuk melalui makhluk-makhluk-Nya untuk mengetahui keagungan kekuasaan-Nya, kecermatan hikmah-Nya, keluasan rahmat-Nya, serta keterikatan makhluk dengan-Nya. Juga selalu merasakan pengawasan Allah dan kekuasaan-Nya yang mutlak terhadap manusia serta pentingnya memiliki sifat malu kepada-Nya.

Semua hal tersebut di atas tidak mungkin dicapai dengan mudah bagi orang yang ringkih ruhiyahnya. Untuk memperolehnya diperlukan kesabaran, tekad, tidak gelisah serta bertahap sedikit demi sedikit. Setap kali dia memperoleh sebagian hal di atas maka akan menguatlah ruhiyahnya dan semakin berkurang keringkihannya hingga sirna tanda-tanda penyakit ruhiyah tadi. Selanjutnya dia memasuki tahap penyembuhan sampai sembuh total. Ketika itulah dia akan merasakan nikmatnya nilai-nilai luhur tadi dan dia akan semakin lengket kepadanya. Orang yang ringkih ruhiyahnya bagikan penderita sakit yang tidak nafsu kepada makanan yang enak.

Tetapi dengan berlalunya waktu dan mencoba memasukkan makanan sedikit demi sedikit, fisiknya akan kembali kuat dan sirnalah tanda-tanda penyakit. Setelah itu dia kembali sehat dan dapat menikmati makanan yang enak dengan penuh kerinduan dan suka cita

2. Menghadirkan potret akhirat dan segala yang terjadi ketika itu. Ada orang yang berkeinginan untuk dapat kembali ke dunia guna menghabiskan seluruh umurnya demi keselamatannnya jika mungkin. Hendaknya seorang kader merenung bahwa rumah akhirat pertama yang akan ditempatinya adalah kubur. Hendaklah dia membayangkannya dengan tajam, memasang potret kubur yang gelap itu di ingatannya serta mengenang tidurnya yang sendirian di mana tidak ada penghibur kecuali amalnya.

Tersebutlah dahulu ada seorang shalih yang arif menggali sebuah kubur di rumahnya, setiap kali dia merasa kekerasan di hatinya, dimasukinya kubur tersebut seraya membaca firman Allah, "Dia berkata, Ya Rabb kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah kutinggalkan" (Q.S. Al- Mu'minun: 99-100). Kemudian orang shalih itu berkata, "Wahai jiwa, kini engkau telah kembali ke dunia, maka beramallah yang shalih!.

3. Hendaklah setiap kader ingat bahwa kematian lebih dekat kepadanya dari tali sendalnya. Janganlah dia tertipu oleh masa muda, kekuatan serta kesegarannya. Kematian tidak mengenal masa muda. Kekuatan dan kesehatan tidak mampu mencegah kehadirannya. Di antara hikmah dan rahmat Allah kepada kita, Dia memperlihatkan kepada kita kematian yang merenggut nyawa seorang bayi, anak kecil, orang muda, orang tua dan juga orang sakit. Oleh karenanya setiap orang harus ingat bahwa dia pasti mengalami kematian kapan saja agar selalu bertambah kehati-hatian dan bersiap-siap meninggalkan dunia.

Tahukah engkau wahai saudaraku tentang kematian dan sakaratul maut yang menakutkan itu? Ketika sakaratul maut tiba pada diri seseorang, syaitan menghimpun segala kekuatan, kelicikan dan fikirannya. Dia berkata kepada dirinya, "Jika orang ini lepas dari genggamanku, aku tidak akan mampu lagi mempengaruhinya." Maka dibujuknya orang itu untuk kufur, dicintakan kepadanya kemurtadan dan dihiasinya dunia di matanya sembari mengingatkan orang tersebut akan kenikmatan yang dia inginkan, agar orang tersebut berpaling dari akhirat dan harapan bertemu Allah.

Akhirnya orang itupun tidak ingin mengalami kematian dan matilah dia dalam kekufuran, nauzubillah.

Diceritakan tentang seorang arif yang dikunjungi oleh para sahabatnya ketika sedang menderita sakit yang membawa kepada kematiannya. Ketika itu mereka melihat orang bijak tadi menangis. Maka dihiburnyalah dia dengan mengingatkan bahwa seluruh perbuatannya adalah baik dan rahmat Allah pasti tercurah untuknya. Orang arif tersebut berkata, "Aku menangisi imanku yang aku khawatirkan dirampas ketika sakaratul maut!"

Bukanlah tempatnya di sini untuk menerangkan hakikat ucapan orang arif tersebut. Cukuplah sebagai pelajaran bagi setiap kader bahwa menghadirkan kematian dan tidak melupakannnya akan membuat dirinya senantiasa merasa asing hidup di dunia ini. Dia dapat memahami dengan baik ma'na ungkapan Rasul SAW, "Jadilah engkau di dunia, seakan seorang asing atau (bahkan) pengembara. Dan golongkan dirimu dalam kelompok penduduk kubur." (HR Bukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majjah dari Abdullah bin Umar).

Perasaan terasing tersebut berdampak sangat unik, diantaranya: Pertama, segala sandungan serta cobaan yang dialami oleh setiap kader akan terasa ringan. Kedua, derita terasa ringan, hati menjadi sabar, kebahagiaan yang tercela mengisut dan dunia yang menipu menjadi jauh. Ketiga, pandangan kader akan tertuju ke tempat tinggal yang sebenarnya berupa rumah akhirat. Dia tidak merasa tentram dengan kehidupan duniawi apalagi condong kepadanya. Seorang asing menyadari bahwa menetapnya di negeri asing hanyalah sementara sedang hatinya selalu menoleh ke rumah yang tidak akan pernah binasa, rumah bahagia dan tanpa derita. Rumah yang dekat dangan Rabbnya di mana dia dapat melihat-Nya. Dan apabila seorang kader merenungi kenikmatan akhirat dia pun akan terbuai harapan dan cita-cita. Harapan yang benar tentunya harus diiringi upaya yang sungguh-sungguh agar dapat sampai kepada yang dicita-citakan.

4. Memelihara dengan serius segala sarana penyuci diri dan menopangnya dengan kekuatan dan semangat. Sesungguhnya ruhani dapat menjadi kotor dan butuh penyucian. Dia pun akan mengalami kelesuan maka harus selalu diberi semangat. Dia juga mengalami sakit yang membutuhkan pengobatan. Sebagaimana dia pun mengalami kelemahan yang perlu diberi kekuatan. Semuanya itu berupa ibadah yang terus menerus dan yang paling utama adalah shalat. Maka bukanlah suatu yang mengada-ada apabila Rasulullah mewasiatkan pentingnya shalat kepada ummatnya ketika beliau akan menutup hayatnya. Shalat, suatu ibadah yang menyenangkan dan dapat menyucikan ruh dari segala kotoran dan menghubungkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

Begitu pula harakah ini pun mewasiatkan kepada setiap kader untuk membaca Al- Qur'an sebelum shubuh atau sesudahnya, membaca wirid ma'tsurat sughra dan berziarah kubur sekali dalam sepekan setelah melaksanakan tugas-tugas di atas. Untuk memudahkan bangun pagi, setiap akh hendaknya menghindari tidur terlalu malam jika tidak ada kepentingan mendesak. Merekapun hendaknya tidak membiasakan menggunakan jam weker.

Wahai ikhwah!!.. Kami mencintai kalian sebagaimana kami mencintai diri kami sendiri. Kami berharap agar cinta ini berharga di sisi Allah sebagaimana kami pun berharap semoga Allah menghimpun kita dalam kebenaran dan jihad di dunia serta kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Apa yang kami sampaikan ini bukanlah sekedar tulisan untuk mengisi kekosongan, menyenangkan fikiran atau menyegarkan jiwa sesaat saja dan setelah itu tak ada lagi guna. Tulisan ini adalah arahan yang harus kita pegang erat karena dia adalah bagian dari manhaj Islam. Dengan melaksanakan apa yang tertera di sini, kalian akan mampu dengan idzin
Allah, memikul da'wah dan jihad fi sabilillah. Pasanglah tekad kalian untuk melaksanakannya dan jujurlah kepada Allah niscaya Allah akan membuktikan apa yang dijanjikan-Nya.

Sumber: Majalah Saksi

16 February 2011

Beriman Secara Spontan

Beriman Secara Spontan

Sebelum datangnya wahyu yang dibawa Muhammad, boleh dikata tiada bangsa yang memiliki karakter yang kasar melebihi bangsa Arab. Mereka yang diam di dalamnya, bisa dikatakan telah mengidap 6 penyakit K (Kurap, Kutil, Kudis, Kurus, Kere, dan Kesasar).

Kurap (kurang rapi), Kutil (kurang teliti), Kudis (kurang disiplin), Kurus (kurang terurus), Kere (kurang resik/kurang rapi, red), dan Kesasar (kurang asah, asuh, asih, dan kurang ajar). Mereka adalah manusia yang sulit meninggalkan tradisi patologi sosial, yang sudah menggurita. Istilah kita, mo limo. Dan gejala tersebut efek dari kuman (kurang iman) dan hidup dalam kubangan jahiliyah. Dalam waktu 23 tahun terjadi 60 kali lebih peristiwa peperangan.

Namun, setelah tershibghah (tercelup) dengan wahyu selama 13 tahun di Makkah, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam struktur kepribadian mereka. Terjadi penataan ulang (rekonstruksi) dalam tashawwur (persepsi), ittijah (orientasi), wijhah (cara pandang), ghoyah (tujuan akhir), tentang definisi “Allah”, tentang diri mereka sendiri dan alam semesta.

Dari sinilah awal terjadinya perubahan. Dari manusia penunggang onta, memiliki kelayakan sebagai pemimpin dunia. Semula tidak pernah berfikir tentang struktur kekuasaan, kemudian menjadi pemimpin. Awalnya tidak berfikir tentang perang, kemudian menjadi panglima. Tadinya tidak pernah berfikir tentang kualitas diri, kemudian menjadi alim, zahid, dan qo-id (panglima).

Setelah mengenali Allah dengan ma’rifat yang benar, mereka menyadari bahwa manusia itu mahdud (memiliki keterbatasan), qashir (banyak kekurangan), ‘ajiz (lemah), dan muhtaj ila ghoirih (membutuhkan orang lain). Bahkan ia menyadari sesungguhnya manusia itu mahallul khathai wan nisyan (tempat salah dan lupa). Betapapun tinggi kedudukan seseorang, manusia adalah dho’if (lemah), zdalil (hina), faqir (miskin), demikian kata Fatimah binti Rasulullah Saw.

Dengan iman yang benar, mereka menyadari diri. Bahwa dari mata mereka, bisa keluar kotoran. Termasuk dari telinga, kemaluan, dan dubur mereka. Jadi, jika ia melihat dirinya (atau orang lain secara fisik), tak lebih hanya tong tahi yang hidup. Karenanya tak patut untuk membanggakan diri, apalagi sombong.

Berbeda dengan Allah Swt yang memiliki segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan dan jauh dari segala sifat kekurangan.

Dari sinilah manusia kemudian menyadari diri bahwa ia adalah makhluk yang tergantung kepada Allah Swt. Bertolak dari kesadaran (wa’yu) di atas, lahirlah sikap yang sering disebut sami’na wa ‘atha’na (kami mendengar dan taat) terhadap nasihat, petunjuk, dan arahan yang bersumber dari Allah Swt dan Al-Quran.

Penghayatan terhadap kedudukan Allah Swt yang sedemikian rupa, mustahil terjadi pada manusia yang patuh karena Undang-Undang dunia atau buatan manusia. Manusia Muslim yang beriman, ia meyakini kepatuhan ini sebagai ibadah dan merupakan bentuk taqarrub (pendekatan) kepada-Nya. Orang Muslim yang beriman, ia selalu akan merasa dekat kepada-Nya secara formal maupun informal, karena meyakini dengan cara seperti itu akan mengangkat derajatnya dan menghapus segala dosa dan kekurangan, serta sisi gelap dalam dirinya, dan akan menjadi sosok manusia yang menjadi jelmaan kehendak-Nya. Laksana seorang anak yang sedang bermain lumpur, kemudian dipanggil oleh orang tuanya yang menyayanginya untuk mandi di kolam. Betapa segar dan bersihnya badan setelah itu (QS. An Nisa (4) : 65).

Mereka tahu benar, hukum-hukum yang terkandung dalam syariat Allah-lah yang paling sempurna, syamil, paling adil, dan paling mampu mewujudkan setiap yang namanya kebajikan, ma’rufat, dan maslahat. Mereka yakin, hukum-hukum buatan Allah paling mampu menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan dan mencabut mafsadat dari akar-akarnya. Oleh karena itu ia bersegera melaksanakan syariat, dengan penuh rasa puas, ridho, keluar dari hati yang ikhlas, bukan karena terpaksa lantaran takut kepada polisi, pengawas, dan petugas keamanan atau karena lahirnya KPK. Sikap orang-orang beriman, akan lebih memudahkan aparat keamanan mengurangi beban pekerjaannya.

Taat tanpa Syarat

Sikap sami’na wa atho’na sering pula kita jumpai dalam sejarah pada zaman Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ada kisah, seseorang wanita ghomidiyah yang telah lalai melakukan perbuatan zina secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian datang sendiri menghadap Nabi tanpa ada pengaduan warga atau dijemput paksa oleh polisi. Ia menemui Nabi karena didorong oleh kesadaran imannya meminta dihukum atas perbuatannya agar pada hari kiamat nanti ia menghadap Allah dalam keadaan bersih.

“Tidaklah sakit, jari tangan yang dipotong oleh syariat lantaran yang menyuruhnya ialah Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih,” begitu semboyannya.

Abu Tholhah yang sudah tua tidak menghiraukan larangan anaknya untuk ikut perang (QS. At Taubah (9) : 41). Anak-anak yang belum cukup umur itu berebut undian untuk turut berjihad. Seorang pemuda Abdullah Al Muaqqal Al Muzani dkk menangis karena tidak diikutkan dalam Perang Tabuk (QS. At Taubah (9) : 92).

Seorang kakek tua yang sudah pincang, seperti ‘Amr bin Jamuh Al Anshari menolak untuk tidak diikutkan dalam Perang Uhud (QS. Fath (48) : 17). Said bin Musayyab bersikeras ikut perang sekalipun sakit (bahkan matanya copot sebelah). Setelah diprotes, ia menjawab: “Allah telah menyuruh kita berangkat berjihad baik dalam keadaan ringan maupun berat. Jika aku tidak berangkat, niscaya aku hanya akan memperbanyak noda dan dosa dan memelihara barang-barang dunia.” (Imam Qurthubi ketika menafsiri ayat 41 surat At Taubah).

Abu Tholhah menginfakkan kebunnya yang terkenal (ba-iruha) hanya karena ia masbuq atau terlambat shalat berjamaah. Itulah mental orang-orang yang sudah terasa dan tertimpa iman.

Wanita Anshar

Sikap perempuan-perempuan muslimah generasi pertama terhadap tabarruj (berperilaku) ala jahiliyah yang diharamkan oleh Allah Swt, dan terhadap hijab (jilbab) yang diwajibkan kepada mereka membuktikan bahwa mereka adalah para wanita yang bersegera menyambut seruan Allah Swt.

Pada masa jahiliyah, ada seorang perempuan lewat di antara kaum lelaki dalam keadaan terbuka. Sambil melenggak-lenggok mereka memperlihatkan leher dan ujung rambutnya serta perhiasan telinganya. Maka Allah haramkan atas seluruh perempuan mukminah tabarruj (berpenampilan) ala jahiliyah pertama ini, dan memerintahkan mereka agar berbeda dari perempuan jahiliyah dengan cara menjulurkan jilbabnya sampai menutup sakunya, mulai dari kepala, dada, leher dan telinganya.

Aisyah menceritakan kepada kita bagaimana sikap perempuan-perempuan Muhajirin dan Anshar dalam masyarakat Islam pertama terhadap syariat Ilahi yang berkaitan dengan perintah mengubah aspek amat mendasar dalam kehidupan wanita, yaitu: tingkahlaku, pakaian, dan perhiasan. Beliau melanjutkan: Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirat pertama, ketika Allah menurunkan Surat An Nur ayat 31: “Dan hendaklah mereka menjulurkan (menutupkan) jilbab mereka sampai kantong-kantong mereka.”

Pada suatu hari seorang perempuan berkunjung kepada Aisyah dan membicarakan perempuan Quraisy dan keutamaannya. Maka beliau berkata: “Perempuan Quraisy itu memiliki keutamaan. Tapi demi Allah, aku tidak pernah menemukan perempuan yang lebih utama dari wanita Anshar. Aku tidak pernah menjumpai perempuan lebih meyakini Kitabullah dan lebih mengimani, membenarkan Al Quran. Sungguh, ketika turun surat An Nur : 31, kaum lelakinya serempak mendatangi mereka membacakan firman Allah tersebut. Dan demi, ketika seorang lelaki membacakannya kepada istri, putri, dan saudarinya, tak ada dari mereka yang tinggal diam, melainkan segera mengambil kerudung (jilbab)-nya masing-masing (yang berhias dengan gambar-gambar), kemudian menutup kepalanya sesuai perintah sebagai pernyataan iman dan membenarkan Al Quran. Sehingga ketika subuh mereka ada di belakang Rasulullah dalam keadaan kepalanya tertutup rapat, seakan-akan kepalanya terdapat burung gagak.” [Ibnu Katsir dari Ibnu Abi Hatim].

Demikianlah sikap para mukmin dan mukminah terhadap hukum Allah Swt. Sikap yang segera dan spontanitas (istijabah fauriyah) melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya tanpa sedikitpun keraguan atau menunggu-nunggu. Mereka secepatnya melaksanakan perintah tanpa menunggu dua hari atau lebih untuk membeli atau menjahit pakaian baru dahulu yang cocok menjadi penutup kepala mereka, melainkan langsung mengenakan pakaian yang baru ia dapatkan.

Mereka juga tak perlu berdiskusi, berdebat atau melakukan simposium, sebagaimana para kaum feminis dan liberal, yang lebih suka mengotak-atik ayat, mengkorupsinya bahkan memelintir-melintir sesuai keinginannya.

Para sahabat Nabi itu hanya mengatakan, sami’na wa ‘atha’na, kami mendengar dan kami taati. Titik!

Dengan iman, mereka jauh lebih kreatif. Tak pernah berargumen aneh-aneh atau berdalih untuk menipu perintah Allah. Bila mereka tidak menemukan bahan, mereka mengubahnya dengan cara menyobek (melubangi)-nya untuk dipasangkan di kepala mereka, meski bentuknya tak sesuai mode dan tak nyaman dipandang mata. Baginya, yang penting aurat mereka tertutup rapat sehingga nampak di kepalanya seakan-akan burung gagak. (dalan al Halal wal Haram fil Islam, DR. Yusuf Qardhawi).

Nah, bandingkanlah sikap seperti itu pada kita. Apakah ketika ayat dan seruan Allah itu datang, kita langsung istijabah fauriyah (menyambut seruan secara spontan) atau mendebatnya dahulu dengan mengatakan, “Oh, itu hanya tradisi Arab” atau dengan bermacam alasan, seolah kita lebih pintar dari Allah yang telah menurunkan perintahNya dalam Al-Quran?

www.hidayatullah.com

31 January 2011

Semangat Hari Ini

Alhamdulillah, Sekian Lama sempat berhenti mengupdate blog, kini aku kembali dengan semangat hari ini hari selasa. semangatnya menembus batas2 geografis.. :) syukurku kepada Allah SWT atas karunia hari ini. sambil menulis di blog lama ini ditemani oleh nasyid rabbani - apa yang kau tahu. ini liriknya ^_^

Apa Yang Kau Tahu
Album : Aman Peace
Munsyid : Rabbani
http://liriknasyid.com


Bacalah...sebutlah dengan nama
Tuhan yang menciptakan
Segala kejadian di dunia

Bacalah...tulislah dengan pena
Wahyu yang diutuskan
Risalah kebenaran untuk insan

Seluruh kasihnya telah dia curahkan
Tulus suci mengisi ruang hati
Bagai dalam dingin
Rindu berdakapan
Dengan kata syahdu
Kasih mesra bersatu
Apa yang kau tahu

Bacalah...lihatlah dengan mata
Selami sanubari
Putaran panorama hidup ini

Bacalah...tipuan mata hati
Bisikan penuh mimpi
Melamar kelalaian tidak henti

Suruhan larangan telah dia sampaikan
Jangan pilih haluan dimurka
Kelak rebah diri
Duka menangisi
Tanpa belas kasih
Disiksa saban waktu
Apa yang kau tahu

Gua hira menggamit kisah silam
Satu peristiwa nabi bersendiri
Iqra diturunkan muhammad ditabalkan
Tersuratlah sudah kalam dari Tuhan

Sekian kalinya detik waktu berlalu
Apa terus berbakti untuk dia
Membalas kasih
Syukur dengan nikmat

Amal yang bertambah
Hikmahnya kan ketemu

Apa yang kau tahu

Pengirim : JAYANTI

www.liriknasyid.com

01 April 2010

Indahnya Islam

Oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman



Tema keindahan Islam sangat luas, panjang lebar sulit untuk diringkas dengan bilanngan waktu yang tersisa. Sebelumnya, yang perlu kita ketahui adalah firman Allah.

“Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” [Ali-Imran : 19]

Juga firmanNya.

“Artinya : Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima” [Ali-Imran : 85]

Jadi, agama yang dibawa oleh para nabi dan menjadi sebab Allah mengutus para rasul adalah dienul Islam. Allah mengutus para rasul untuk mengajak agar orang kembali kepada Allah. Para rasul datang untuk memperkenalkan Allah. Barangsiapa mentaati mereka, maka para rasul akan memberikan kabar gembira kepadanya. Adapun orang yang menentangnya, maka para rasul akan menjadi peringatan baginya.

Para rasul diperintahkan untuk menegakkan agama di dunia ini. Allah berfirman.

“Artinya : Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu “Tegakkan agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepada)Nya”. [Asy-Syura : 42]

Islam adalah agama yang dipilih Allah untuk makhlukNya. Agama yang dibawa Nabi merupakan agama yang paripurna. Allah tidak akan menerima agama selainnya. Jadi agama ini adalah agama penutup, yang dicintai dan diridhaiNya. Allah berfirman.

“Artinya : Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepada)Nya” [Asy-Syura : 42]

Sebagian ahli ilmu mengatakan : Sebelumya aku mengira bahwa orang yang bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya. Dan orang yang meridhai Allah, niscaya Allah akan meridhainya. Dan barangsiapa yang mencintai Allah, niscaya Allah akan mencintainya. Setelah aku membaca Kitabullah, aku baru mengetahui bahwa kecintaan Allah mendahului kecintaan hamba padaNya dengan dasar ayat.

“Artinya : Dia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya” [Al-Ma’idah : 54]

Ridha Allah kepada hambaNya mendahului ridha hamba kepadaNya dengan dasar ayat.

“Artinya : Allah meridhai mereka dan mereka meridhainya” [At-Taubah : 100]

Dan aku mengetahui bahwa penerimaan taubat dari Allah, mendahului taubat seorang hamba kepadaNya dengan dasar ayat.

“Artinya : Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya” [At-Taubah : 118]

Demikianlah, bila Allah mencitai seorang manusia, maka Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dalam shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah bersabda.

“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya. Tidak ada seorang Yahudi dan Nashrani yang mendengarku dan tidak beriman kepadaku, kecuali syurga akan haram buat dirinya” [Hadits Riwayat Muslim]

Karena itu, agama yang diterima Allah adalah Islam. Umat Islam harus menjadikannya sebagai kendaraan. Persatuan harus bertumpu pada tauhid dan syahadataian.

Islam agama Allah. Kekuatannya terletak pada Islam itu sendiri. Allah menjamin penjagaan terhadapnya. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [Al-Hijr : 9]

Sedangkan agama selainnya, jaminan ada di tangan tokoh-tokoh agamanya. Allah berfirman.

“Artinya : Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab” [Al-Ma’idah : 44]

Kalau mereka tidak menjaganya, maka akan berubah. Ia bagaikan sesuatu yang mati. Harus digotong. Tidak dapat menyebar, kecuali dengan dorongan sekian banyak materi. Sedangkan Islam pasti tetap akan terjaga. Karena itu, masa depan ada di tangan Islam. Islam pasti menyebar ke seantero dunia. Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an, demikian juga Nabi dalam Sunnahnya.

Kesempatan kali ini cukup sempit, tidak memungkinkan untuk menyebutkan seluruh dalil. Tapi saya ingin mengutip sebuah ayat.

“Artinya : Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tidak menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya” [Al-Hajj : 15]

Dalam Musnad Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Amr, kami bertanya kepada Nabi : “Kota manakah yang akan pertama kali ditaklukkan ? Konstantinopel (di Turki) atau Rumiyyah (Roma) ?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Konstantinopel-lah yang akan ditaklukkan pertama kali, kemudian disusul Rumiyyah”, yaitu Roma yang tertelak di Italia. Islam pasti akan meluas di seluruh penjuru dunia. Pasalnya, Islam bagaikan pohon besar yang hidup lagi kuat, akarnya menyebar sepanjang sejarah semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Islam adalah agama (yang sesuai dengan) fitrah. Kalau anda ditanya, bagaimana engkau mengetahui Rabb-mu. Jangan engkau jawab “Dengan akalku”, tapi jawablah dengan fitrahku”. Oleh karena itu, ketika ada seorang atheis yang mendatangi Abu Hanifah dan meminta dalil bahwa Allah adalah Haq (benar), maka beliau menjawab dengan dalil fitrah.

“Apakah engkau pernah naik kapal dan ombak mempermainkan kapalmu?”
Ia menjawab : “Pernah”.
(Abu Hanifah bertanya lagi) : “Apakah engkau merasa akan tenggelam ?”
Jawabnya : “Ya”.
“Apakah engkau meyakini ada kekuatan yang akan menyelamatkanmu?”
“Ya”, jawabnya.
"Itulah fitrah yang telah diciptakan dalam dirimu. Kekuatan ada dalam dirimu itulah kekuatan fitrah Allah. Manusia mengenal Allah dengan fitrahnya. Fitrah ini terkandung dalam dada setiap insan. Dasarnya hadits Muttafaq ‘Alaih. Nabi bersabda. “Artinya : Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi”.

Akal itu sendiri bisa mengetahui bahwa Allah adalah Al-Haq. Namun ia secara mandiri tidak akan mampu mengetahui apa yang dicintai dan diridhai Allah. Apakah mungkin akal semata saja dapat mengetahui bahwa Allah mencintai shalat lima waktu, haji, puasa di bulan tertentu ? Karena itu, fitrah itu perlu dipupuk dengan gizi yang berasal dari wahyu yang diwahyukan kepada para NabiNya.

Sekali lagi, nikmat dan anugrah paling besar yang diterima seorang hamba dari Allah ialah bahwa Allah-lah yang memberikan jaminan untuk menetapkan syari’atNya. Dialah yang menjelaskan apa yang dicintai dan diridhaiNya. Inilah nikmat terbesar dari Allah kepada hambaNya. Bila ada orang yang beranggapan ada kebaikan dengan keluar dari garis ini dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia telah keliru. Sebab kebaikan yang hakiki dalam kehidupan ini maupun kehidupan nanti hanyalah dengan mentaati seluruh yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

Syari’at Islam datang untuk menjaga lima perkara. Allah telah mensyariatkan banyak hal untuk menegaskan penjagaan ini. Islam datang untuk menjaga agama. Karena itu, Allah mengharamkan syirik, baik yang berupa thawaf di kuburan, istighatsah kepada orang yang dikubur serta segala hal yang bisa menjerumuskan ke dalam syirik, dan mengharamkan untuk mengarahkan ibadah, apapun bentuknya, (baik) secara dhahir maupun batin kepada selain Allah. Oleh sebab itu, kita harus memahami makna ringkas syahadatain yang kita ucapkan.

Syahadat “Laa Ilaaha Illa Allah”, maknanya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, ibadah hanya milik Allah. Ini bagian dari pesona agama kita. Allah mengharamkan akal, hati dan fitrah untuk melakukan peribadatan dan istijabah (ketaatan mutlak) kepada selainNya. Sedangkan makna syahadat “ Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, (yakni) tidak ada orang yang berhak diikuti kecuali Muhammad Rasulullah. Kita tidak boleh mengikuti rasio, tradisi atau kelompok jika menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Maka seorang muslim, disamping tidak beribadah kecuali kepada Allah, juga tidak mengikuti ajaran kecuali ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak mengikuti ra’yu keluarga, ra’yu kelompok, ra’yu jama’ah, ra’yu tradisi dan lain-lain jika menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah.

Dakwah Salafiyah yang kita dakwahkan ini adalah dinullah yang suci dan murni, yang diturunkan oleh Allah pada kalbu Nabi. Jadi dalam berdakwah, kita tidak mengajak orang untuk mengikuti kelompk ataupun individu. Tetapi mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun, memang telah timbul dakhon (kekerruhan) dan tumbuh bid’ah. Sehingga kita harus menguasai ilmu syar’i. Kita beramal (dengan) meneladani ungkapan Imam Malik, dan ini, juga perkataan Imam Syafi’i : “Setiap orang bisa diambil perkataanya atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini, yaitu Rasulullah”.

Telah saya singgung di atas, agama datang untuk menjaga lima perkara. Penjagaan agama dengan mengharamkan syirik dan segala sesuatu yang menimbulkan akses ke sana. Kemudian pejagaan terhadap badan dengan mengharamkan pembunuhan dan gangguan kepada orang lain. Juga datang untuk memelihara akal dengan mengharamkan khamr, minuman keras, candu dan rokok. Datang untuk menjaga kehormatan dengan mengharamkan zina, percampuran nasab dan ikhtilath (pergaulan bebas). Juga menjaga harta dengan mengharamkan perbuatan tabdzir (pemborosan) dan gaya hidup hedonisme. Penjagaan terhadap kelima perkara ini termasuk bagian dari indahnya agama kita. Syari’at telah datang untuk memerintahkan penjagaan terhadap semua ini. Dan masih banyak perkara yang digarsikan Islam, namun tidak mungkin kita paparkan sekarang.

Syari’at telah merangkum seluruh amal shahih mulai dari syahadat hingga menyingkirkan gangguan dari jalan.

Karena itu tolonglah jawab, kalau menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari keimanan, bagaimana mungkin agama memerintahkan untuk mengganggu orang lain, melakukan pembunuhan dan peledakan ? Jadi, ini sebenarnya sebuah intervensi pemikiran asing atas agama kita. Semoga Allah memberkahi waktu kita, dan mengkaruniakan kepada kita pemahaman terhadap Kitabullah dan Sunnah Nabi dengan lurus. Dan semoga Allah memberi tambahan karuniaNya kepada kita. Akhirnya, kami ucapkan Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

http://www.almanhaj.or.id/content/1753/slash/0

14 March 2010

Siapa Yang Bisa Menjamin Dirinya?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk surga dalam waktu yang sangat lama, namun kemudian akhir hidupnya ditutup dengan amalan penduduk neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk neraka dalam waktu yang sangat lama, namun kemudian akhir hidupnya ditutup dengan amalan penduduk surga.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/246])

Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk surga dalam pandangan manusia, namun sebenarnya dia adalah penduduk neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan amalan penduduk neraka dalam pandangan manusia, namun sebenarnya dia adalah penduduk surga.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/246])

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hati anak keturunan Adam seluruhnya berada di antara dua jari di antara jari-jemari ar-Rahman, laksana hati yang satu, -sehingga dengan mudahnya- Allah palingkan hati itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wahai Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk berada di atas ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/250])

Tiga hadits yang agung ini mengandung pelajaran:

1. Hendaknya merasa takut terhadap su’ul khotimah dan mengharapkan husnul khotimah
2. Iman terhadap surga dan neraka
3. Amalan yang telah sekian lama dilakukan tidak bisa menjamin seseorang bahwa dirinya pasti selamat, karena di akhir hidupnya belum tentu dia masih istiqomah
4. Tidak boleh tertipu oleh banyaknya amalan yang pernah dilakukan
5. Tidak boleh merasa aman dari makar Allah
6. Tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah
7. Hendaknya menyeimbangkan antara khauf (takut) dan roja’ (harapan)
8. Hendaknya menempuh sebab-sebab yang bisa menjadikan istiqomah
9. Hendaknya menjaga keikhlasan dalam beramal
10. Pentingnya memperhatikan dan menata amalan-amalan hati
11. Peringatan dari bahaya riya’ dan kemunafikan
12. Ikhlas merupakan sebab utama keselamatan
13. Tidak boleh memvonis orang sebagai penduduk surga sehebat apapun amalannya, karena kita tidak tahu bagaimana keadaan akhir hidupnya, kecuali yang ada dalilnya secara jelas
14. Tidak boleh memvonis orang sebagai penduduk neraka seburuk apapun amalannya, karena kita tidak tahu bagaimana keadaan akhir hidupnya, kecuali yang ada dalilnya secara jelas
15. Nasib seseorang di akherat kelak ditentukan bagaimana keadaan akhir hidupnya di alam dunia ini, apakah dia meninggal di atas keimanan ataukah tidak?
16. Penetapan bahwa Allah memiliki jari yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, tidak seperti apa yang ada pada makhluk
17. Penetapan bahwa hati manusia itu berada di bawah kekuasaan Allah
18. Penetapan sifat kasih sayang pada diri Allah, Allah tidak berbuat semena-mena terhadap makhluk-Nya
19. Hendaknya selalu memohon taufik kepada Allah agar hatinya berada di atas kebenaran
20. Ketaatan kepada Allah merupakan sumber keselamatan

dikutip dari :
http://abumushlih.com/siapa-yang-bisa-menjamin-dirinya.html/

08 February 2010

Kiat-Kiat Menuju Pelaminan

Diposting oleh admin ⋅ 15 May 2009 ⋅ Kirim buletin ini Kirim buletin ini ⋅ Cetak buletin ini Cetak buletin ini ⋅ Kirim komentar

At Tauhid edisi V/20

Oleh: Yulian Purnama

Sungguh indah ikatan suci antara dua orang insan yang pasrah untuk saling berjanji setia menemani mengayuh biduk mengarungi lautan kehidupan. Dari ikatan suci ini dibangun keluarga bahagia, yang dipimpin oleh seorang suami yang shalih dan dimotori oleh seorang istri yang shalihah. Mereka mengerti hak-hak dan kewajiban mereka terhadap pasangannya, dan mereka pun memahami hak dan kewajiban mereka kepada Allah Ta’ala. Kemudian lahir dari mereka berdua anak-anak yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla. Cinta dan kasih sayang pun tumbuh subur di dalamnya. Rahmat dan berkah Allah pun terlimpah kepada mereka. Inilah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, samara kata orang. Inilah model keluarga yang diidamkan oleh setiap muslim tentunya.

Tidak diragukan lagi, bahwa untuk menggapai taraf keluarga yang demikian setiap orang harus melewati sebuah pintu, yaitu pernikahan. Dan usaha untuk meraih keluarga yang samara ini hendaknya sudah dimulai saat merencanakan pernikahan. Pada tulisan singkat ini akan sedikit dibahas beberapa kiat menuju pernikahan Islam yang diharapkan menjadi awal dari sebuah keluarga yang samara.

Berbenah Diri Untuk Mendapatkan Yang Terbaik

Penulis ingin membicarakan 2 jenis manusia ketika ditanya: “Anda ingin menikah dengan orang shalih/shalihah atau tidak?”. Manusia jenis pertama menjawab “Ya, tentu saja saya ingin”, dan inilah muslim yang masih bersih fitrahnya. Ia tentu mendambakan seorang suami atau istri yang taat kepada Allah, ia mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau shalihah. Maka, jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan pasangan yang shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang yang shalih atau shalihah pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya: “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula” [QS. An Nur: 26]. Yaitu dengan berbenah diri, berusaha untuk bertaubat dan meninggalkan segala kemaksiatan yang dilakukannya kemudian menambah ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Sedangkan manusia jenis kedua menjawab: “Ah saya sih ndak mau yang alim-alim” atau semacam itu. Inilah seorang muslim yang telah keluar dari fitrahnya yang bersih, karena sudah terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan sehingga ia melupakan Allah Ta’ala, melupakan kepastian akan datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa neraka. Yang ada di benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan menggapai kebahagiaan akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai orang yang enggan masuk surga. Lho, masuk surga koq tidak mau? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?’. Beliau bersabda: “Yang taat kepadaku akan masuk surga dan yang ingkar terhadapku maka ia enggan masuk surga” [HR. Bukhari]

Seorang istri atau suami adalah teman sejati dalam hidup dalam waktu yang sangat lama bahkan mungkin seumur hidupnya. Musibah apa yang lebih besar daripada seorang insan yang seumur hidup ditemani oleh orang yang gemar mendurhakai Allah dan Rasul-Nya? Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Keadaan agama seorang insan tergantung pada keadaan agama teman dekatnya. Maka sudah sepatutnya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman dekat” [HR. Ahmad, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani]

Bekali Diri Dengan Ilmu

Ilmu adalah bekal penting bagi seseorang yang ingin sukses dalam pernikahannya dan ingin membangun keluarga Islami yang samara. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama tentunya. Secara umum, seseorang perlu membekali diri dengan ilmu-ilmu agama, minimal ilmu-ilmu agama yang wajib bagi setiap muslim. Seperti ilmu tentang aqidah yang benar, tentang tauhid, ilmu tentang syirik, tentang wudhu, tentang shalat, tentang puasa, dan ilmu yang lain, yang jika ilmu-ilmu wajib ini belum dikuasai maka seseorang dikatakan belum benar keislamannya. Lebih baik lagi jika membekali diri dengan ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits, tafsir al Qur’an, Fiqih, Ushul Fiqh karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [QS. Al Mujadalah: 11]

Secara khusus, ilmu yang penting untuk menjadi bekal adalah ilmu tentang pernikahan. Tata cara pernikahan yang syar’I, syarat-syarat pernikahan, macam-macam mahram, sunnah-sunnah dalam pernikahan, hal-hal yang perlu dihindari, dan yang lainnya.

Siapkan Harta Dan Rencana

Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk dapat memenuhi beberapa kewajiban yang menyertainya, seperti mahar, mengadakan walimah dan kewajiban memberi nafkah kepada istri serta anak-anak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud].

Namun kebutuhan akan harta ini jangan sampai dijadikan pokok utama sampai-sampai membuat seseorang tertunda atau terhalang untuk menikah karena belum banyak harta. Harta yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (mensyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah” [HR. Bukhari].

Disamping itu, terdapat larangan bermewah-mewah dalam mahar dan terdapat teladan menyederhanakan walimah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” [HR. Ahmad]. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga, berdasarkan hadits Anas Bin Malik Radhiyallahu’anhu, ketika menikahi Zainab Bintu Jahsy mengadakan walimah hanya dengan menyembelih seekor kambing [HR. Bukhari-Muslim].

Selain itu rumah tangga bak sebuah organisasi, perlu manajemen yang baik agar dapat berjalan lancar. Maka hendaknya bagi seseorang yang hendak menikah untuk membuat perencanaan matang bagi rumah tangganya kelak. Misalnya berkaitan dengan tempat tinggal, pekerjaan, dll.

Pilihlah Dengan Baik

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius : nikah, cerai dan ruju’ ” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali Nasa’i). Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.

Kriteria yang paling utama adalah agama yang baik. Setiap muslim atau muslimah yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami atau istri yang baik agamanya, ia memahami aqidah Islam yang benar, ia menegakkan shalat, senantiasa mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik agamanya “Wanita dikawini karena empat hal : ……. hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [HR. Bukhari- Muslim]. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengancam orang yang menolak lamaran dari seorang lelaki shalih “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah].

Selain itu ada beberapa kriteria lainnya yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih calon istri atau suami:

1. Sebaiknya ia berasal dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat)
2. Sebaiknya ia sekufu. Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab dan kemerdekaan dan kekayaannya
3. Gadis lebih diutamakan dari pada janda
4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)
5. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan jika engkau pandang…” [HR. Thabrani]
6. Hendaknya calon istri memahami wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang ma’ruf
7. Hendaknya calon istri adalah wanita yang mengaja auratnya dan menjaga dirinya dari lelaki non-mahram.

Shalat Istikharah Agar Lebih Mantap

Pentingnya urusan memilih calon pasangan, membuat seseorang layak untuk bersungguh-sungguh dalam hal ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Dan salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir Radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan Al Qur’an” [HR. Bukhari].

Datangi Si Dia Untuk Nazhor Dan Khitbah

Setelah pilihan telah dijatuhkan, maka langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor adalah memandang keadaan fisik wanita yang hendak dilamar, agar keadaan fisik tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk melanjutkan melamar wanita tersebut atau tidak. Terdapat banyak dalil bahwa Islam telah menetapkan adanya Nazhor bagi lelaki yang hendak menikahi seorang wanita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” [HR. Abu Dawud].

Namun dalam nazhor disyaratkan beberapa hal yaitu, dilarang dilakukan dengan berduaan namun ditemani oleh mahrom dari sang wanita, kemudian dilarang melihat anggota tubuh yang diharamkan, namun hanya memandang sebatas yang dibolehkan seperti wajah, telapak tangan, atau tinggi badan.

Dalil-dalil tentang adanya nazhor dalam Islam juga mengisyaratkan tentang terlarangnya pacaran dalam. Karena jika calon pengantin sudah melakukan pacaran, tentu tidak ada manfaatnya melakukan Nazhor.

Setelah bulat keputusan maka hendaknya lelaki yang hendak menikah datang kepada wali dari sang wanita untuk melakukan khitbah atau melamar. Islam tidak mendefinisikan ritual atau acara khusus untuk melamar. Namun inti dari melamar adalah meminta persetujuan wali dari sang wanita untuk menikahkan kedua calon pasangan. Karena persetujuan wali dari calon wanita adalah kewajiban dan pernikahan tidak sah tanpanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan keberadaan wali” [HR. Tirmidzi]

Siapkan Mahar

Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istri yang disebabkan pernikahan. Memberikan mahar dalam pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban” [QS. An Nisa: 24]. Dan pada hakekatnya mahar adalah ‘hadiah’ untuk sang istri dan mahar merupakan hak istri yang tidak boleh diambil. Dan terdapat anjuran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah. Sebagaimana telah dibahas di atas.

Setelah itu semua dijalani akhirnya sampailah di hari bahagia yang ditunggu-tunggu yaitu hari pernikahan. Dan tali cinta antara dua insan pun diikat.

Belum Sanggup Menikah?

Demikianlah uraian singkat mengenai kiat-kiat bagi seseorang yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nah, lalu bagaimana kiat bagi yang sudah ingin menikah namun belum dimampukan oleh Allah Ta’ala? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” [QS. An Nur: 33]. As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Yaitu menjaga diri dari yang haram dan menempuh segala sebab yang dapat menjauhkan diri keharaman, yaitu hal-hal yang dapat memalingkan gejolak hati terhadap hal yang haram berupa angan-angan yang dapat dikhawatirkan dapat menjerumuskan dalam keharaman” [Tafsir As Sa’di]. Intinya, Allah Ta’ala memerintahkan orang yang belum mampu untuk menikah untuk bersabar sampai ia mampu kelak. Dan karena dorongan untuk menikah sudah bergejolak mereka diperintahkan untuk menjaga diri agar gejolak tersebut tidak membawa mereka untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga menyarakan kepada orang yang belum mampu untuk menikah untuk banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan untuk bermaksiat [HR. Bukhari-Muslim]. Selama masih belum mampu untuk menikah hendaknya ia menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat. Karena jika ia lengah sejenak saja dari hal yang bermanfaat, lubang kemaksiatan siap menjerumuskannya. Ibnul Qayyim Al Jauziyah memiliki ucapan emas: “Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109). Kemudian senantiasa berdoa agar Allah memberikan kemampuan untuk segera menikah. Wallahul Musta’an. [Yulian Purnama]
Print This PostTag: istri, Keluarga, nikah, pernikahan, suami, tips

http://buletin.muslim.or.id/at-tauhid-tahun-v/kiat-kiat-menuju-pelaminan